Untuk hawa,
Sekali lagi mata meng-eling.
Tertancap di keraguan yang kosong.
Kala semua angin menderu menyentuh bising.
Terabai sudah hari dengan waktu yang melorong.
Lama kiranya aku duduk.
Terpaku di kursi plastik.
Beragam kata, tak jadi kupilih.
Hanya untuk membuat surat cinta.
Lalu bagaimana suara sampai,
sementara angin enggan merambat.
Iklan-iklan mengucap makar.
Berita korupsi cuma sarapan alot
saat pagi yang melarat.
Ini jadi seperti parodi yang berkeliaran dengan liar.
Memainkan skenario butut kemunafikan.
Tapi tiada salah pada panggung ini.
Kita semua berpasangan!
Menjadi ketetapan yang tak bisa di bantah.
Sudah kesepakatannya alam dengan tuhan.
Apalagi yang bisa ku beri.
Bukan surat cinta yang ku pesan.
Bukan potret kemiskinan yang melanda negri.
Atau penutup hijab untuk kecantikan.
Aku hanya titip moral bangsa ini.
Pada wanita-wanita yang membesarkan.
Kerana sekarang kita kembali gelap.
Semakin hitam dengan semrawutnya sistim.
Tiang fondasi kita rapuh.
Anak-anak melupakan sejarah tumpah darah.
Hukum menjadi makanan lezat elite politik.
Sementara buruh-buruh semakin ditekan tenggorokannya.
Lambung mereka melilit kering.
Pori-pori mereka terperas.
Menunggu senja yang lapar malam.
Mereka tetap jengah oleh jeritan anaknya meminta makan.
Bisik ku semakin kencang.
Wajah ketidakpastian terpilu dengan hidup.
Tapi, simbol kegelisahan selalu ada.
Untuk segala keberanian.
Kepada hawa.
Ketika adam berubah menjadi setan.
Jagalah ibu pertiwi ini.
Agar wajahnya tak lagi muram.
Melihat anaknya tumbuh kembang.
Menggantikan manusia tua yang serakah.
Potret feodal yang berkepanjangan.
Hawa, bukan main aku berharap.
bekasi, 21 april 2012