Langsung ke konten utama

Loji, Sanggabuana

Ini cerita tentang bagaimana saya mengenal kegiatan alam bebas. Kenapa harus alam bebas? Karena saya suka. Jangan kesal soalnya ini hanya tulisan iseng belaka. 

Tapi menurut saya yang paling mengesankan adalah ketika kita flash back mengingat bagaimana kita mulai mencintai sesuatu. Dan tak ada salahnya bercerita, bukan?

Pertama kali saya kenal mendaki itu sekitar tahun 2008. Waktu itu kami terinspirasi oleh kegiatan-kegiatan pramuka di zaman sekolah dulu, seperti mendirikan tenda, membuat api unggun, tali-temali, bernyanyi, berbaris dan sebagainya. Namun jujur saja, dulu saya tidak begitu berminat untuk menjadi sahabat pramuka sebab paling malas menghafal kode morse atau semapur. Lain hal dengan kegiatan cross country, itu sangat suka sekali.

Akhirnya kami bertiga - anak piyik kemarin sore - merencanakan berkemah di alam bebas selama dua malam tiga hari di bukit Sanggabuana, Kerawang. Dengan peralatan pendaki amatir; Wajan, panci, tenda pramuka, lampu minyak petromaks, senter ronda segede gaban dan peralatan tidak penting lainnya kami paksa masuk ke dalam tas demi merasakan sensasi petualangan.

Contoh; saya membawa baju salin lima setel, padahal kita menginap hanya dua malam. Bahkan salah satu kawan dengan inisial Fajar (Polem), membawa double-stick dengan dalih untuk membela diri jika nanti dihadang oleh babi. Saya berusaha memahaminya karena saya sendiri pun membawa golok untuk berjaga-jaga. *Tapi kenapa harus double stick?

Saya tanya ke dia "kenapa gak bawa gitar??". Dia jawab "gitar next project om.."

(Tahun depannya dia beneran bawa gitar ke gunung Lawu. Haha.)

Setelah semua siap diarahkan oleh Vebri Bongkang, - teman saya yang punya kapasitas lebih untuk hal baru ini -, kami pun beranjak menuju lokasi menggunakan jasa angkot dari arah Kosambi menuju Loji. Perjalanan memakan waktu dua sampai tiga jam memasuki daerah perkampungan.

Dan sekitar pukul dua siang akhirnya kami sampai di check point *yang saya lupa namanya. Lalu kami langsung memulai pendakian. Menit-menit pertama semangat bak atlit kebut gunung, 15 menit selanjutnya ingin sekali aku berkata kasar sebab lutut mulai berasa ngilu karena jalur yang menanjak disertai berat tas gunung yang overdosis makanan dan alat-alat.

Lalu di perjalanan, kami disapa oleh nenek tua. Ia berpesan agar berhati-hati karena menurut kepercayaan warga desa mendaki gunung ini dengan jumlah ganjil akan membawa petaka. Tiba-tiba kami ciut. Tiba-tiba kami istigfar. Jantung berdebar, bulu roma naik. Karena sudah terlanjur, kita terus lanjut jalan.

Singkatnya kami menempuh bukit satu setengah jam lantas berhenti setelah menemukan spot buka tenda. Sebab kami memang tak berniat sampai ke ujung bukit. Hehe.

Kami bermalam di tempat, yang kala itu menurut saya paling enak untuk spot buka tenda, yaitu di pinggiran sungai. Alasannya dekat dengan air walaupun sangat berbahaya di saat malam hari karena sungai adalah modus operandi binatang mencari makanan.

Usut punya usut, ternyata kami berada di hulu sungai Loji yang berair jernih dan dikenal memiliki air terjun tersembunyi. Saat itu, tenda kami ada di undakan paling atas air terjun yang menjulang 17 meter ke bawah dan bisa melihat pemandangan hamparan hijau perbukitan. Modelnya pun unik karena sungai ini serupa bentuk ngarai kecil dan berundak-udak berketinggian sedang.

Kami merasa sungai itu seperti surga sebab ia memiliki air terjun kecil dengan kolam jernih sedalam satu meter dan setengah meter untuk mandi dan berenang. Lebarnya sekitar 4-5 meter ketika di sebrangi. Dan jarak tenda kami sekitar 2 meter ke sungai.

Tidak ada seorang pun yang lewat melintas karena kegiatan ini belum sepopuler sekarang. Kami berfoto ria, menyiapkan makan malam, mencari kayu bakar, membangun tenda dengan penyangga seadanya, juga mandi bersama.

Sungguh, kami masih normal sampai sekarang. Tidak ada niat untuk berpindah orientasi atau semacamnya. Murni seru-seruan dan mandi bersama adalah hal lumrah saat masih di asrama dikarenakan jumlah siswa yang banyak tapi kamar mandinya sedikit.

Sesampainya malam dan malam berikutnya, pada waktu itulah muncul kejenakaan-kejenakaan yang tak pernah terlupakan.

Hal bodoh yang paling menempel di benak, saat kami membawa masuk lampu petromaks ke dalam tenda sampai pagi. Walhasil, muka kami meng-hitam sampai ke upil-upil. Vebri, yang sedang flu, ingusnya pun sampai hitam. Pantaslah semalaman tidak tidur nyenyak. Otak kami isinya asap petromaks.

Kegiatan kami di alam bebas mungkin terkesan gak penting. Wajar. Sedang liburan. Seperti bermain gaplek, yang kalah cari kayu bakar sendirian atau jadi babu bikin kopi dan lain sebagainya. Jika sudah bosan, kami menikmati langit terbuka tanpa menghiraukan waktu. Bercerita masalah masing-masing atau tentang perempuan.

Dan di sana saya merasa bebas. Menemukan kedamaian dalam hening. Terhindar dari ramainya hiruk pikuk kota.

Di sana pula sebuah kenangan menjadi cerita yang tidak ada habisnya dikisahkan saat kita berkumpul. Akan selalu saya ingat betapa polosnya kita waktu itu dan betapa luasnya alam raya. ^^