Pada siang hari, aku tidak bisa melihat kesedihan. Tapi, pada malam hari, aku merasa kesedihan selalu mampu menampakkan diri dan membelai kepalaku—membiarkan aku tidur di pangkuannya sebagai anak kecil. Televisi telah mengubah pikiranku. Memejamkan mata berarti menjadi pencuri. Tidak ada yang indah dalam hal-hal mudah. Dua mataku akan berusaha selalu terjaga. Aku memilih hidup sebagai penjahat yang ceroboh—cuma tahu melukai hidup sendiri. Pada pagi hari, aku tahu ada seorang mengusir mimpi buruk dari matamu dengan ciuman. Kau terbit sebagai warna paling cerah di taman. “Jika kau ingin mengucapkan selamat tinggal, lakukan seperti matahari tenggelam,” kataku kepada diri sendiri. Sampai ketemu besok pagi. Lagi.
Bagiku, perjalanan adalah sebuah proses mengevaluasi. Di mana kita merenungkan dan merasakan apa yang terpenting dari menjalani hidup. Kita tak pernah tahu kapan harus terjatuh dan kembali bangkit. Kita tak pernah tahu kapan ombak melimbungkan sauh kapalnya. Tapi di setiap perjalanan, aku selalu menemukan cinta, kasih sayang dan harapan. Juga kebesaran-kebesaran Tuhan yang kadang terlupakan. Kala itu, di saung tepi Pantai Siung. Aku kembali mengingat impian yang telah lama terlarung. Menikmati dan mensyukuri debur samudera. Menyelami cahaya senja untuk esok dan cita-cita.